Ini adalah sebuah kisah seorang yang bernama Bob Willen, veteran perang Vietnam yang mengalami sebuah musibah ketika bertugas. Kedua kakinya, harus diamputasi karena terkena ranjau yang di tanam oleh tentara Vietnam di dalam tanah. Bayangkan. Seorang tentara yang terlatih dan tentunya memiliki fisik yang prima tiba-tiba harus kehilangan kedua kakinya. Kehilangan bagian tubuh yang sangat penting bagi seorang tentara.
Pada tahun 1986, di New York diadakan sebuah perlombaan maraton internasional. Para atlit dari seluruh penjuru dunia berkumpul disana untuk berlomba menempuh jarak 42,195 km dengan berlari. Perlombaan itu ditayangkan melalui televisi, sehingga jutaan orang menonton peristiwa itu baik secara langsung maupun melalui siaran televisi.
Perlombaan itu tidak akan menjadi istimewa jika saja Bob tidak ikut tampil disana. Bersama para atlit yang bertubuh normal, Bob berkumpul di garis start perlombaan. Tak pelak, ia pun menjadi pusat perhatian dalam lomba itu. Beberapa kalangan menganggap apa yang diakukan oleh Bob adalah hal yang sia-sia. Bagaimana tidak, orang normal saja banyak yang tidak bisa menyelesaikan lomba itu. Konon lagi seorang Bob. Seorang tentara yang telah kehilangan kedua kakinya. Dengan apa ia akan berlari? Seberapa jauh jarak yang sanggup ditempuhnya? Untuk apa ia berlari sejauh itu? Dan banyak lagi pertanyaan dan pernyataan yang meragukan Bob, sipelari maraton tanpa kaki.
Namun, semua itu tak ada yang bisa mematahkan semangat Bob untuk ikut berlomba. Ia menulikan telinganya dari segala hal yang akan menghentikan langkahnya. Dan, saat itu ia telah berdiri di garis start tanpa ragu sedikitpun.
Lomba pun dimulai. Semua pelari telah meninggalkan garis start dengan semangat yang membara untuk menjadi orang tercepat yang mencapai garis finish. Tepuk tangan dan sorak-sorai penonton mengguruh meneriakkan dukungan kepada para pelari. Bob pun telah meninggalkan garis start seperti para pelari yang lain. Ia berlari dengan kedua tangannya yang dilapisi dengan sarung tangan dan melemparkan badannya ke depan.
Lima kilometer pertama telah dilalui. Sebagian peserta yang nampak kelelahan mulai berjalan kaki. Mulai di kilometer ke sepuluh, mulai nampak siapa yang mengikuti lomba itu dengan penuh persiapan dan mereka yang hanya sekedar iseng-iseng. Sudah banyak pelari yang merasa telah benar-benar kelelahan memutuskan untuk berhenti dan naik ke bus panitia.
Sementara itu, dimana Bob yang menjadi pusat perhatian hampir semua penonton? Ya. Ia kini berada di urutan terakhir, menjadi ‘juru kunci’ dalam perlombaan itu. Ia baru menyelesaikan kilometer pertamanya. Namun, tak pernah terbersit di pikirannya untuk menyerah dan berhenti dari perlombaan itu. Ia berhenti sejenak, membuka kedua sarung tangannya yang telah koyak-koyak, menggantinya dengan sarung tangan yang baru. Dan kemudian kembali berlari dengan melempar-lemparkan tubuhnya kedepan dengan kedua tangannya.
Ayah Bob, yang berada bersama ribuan penonton terus berseru memberikan semangat. “Ayo Bob! Ayo! Terus berlari Bob! Berlari terus!” Teriaknya.
Karena keterbatasan fisiknya, dihari pertama Bob hanya menempuh jarak sejauh sepuluh kilometer. Malam harinya, Bob tidur di dalam sleeping bag yang disediakan oleh panitia.
Empat hari sudah Bob berlari. Entah sudah berapa kalim ia mengganti sarung tangannya. Kini adalah hari kelima bagi Bob Wallen. Dua kilometer lagi jarak yang harus ditempuhnya untuk menyelesaikan perlombaan. Terus berlari tak kenal menyerah.
Bob meletakkan tangannya di lintasan, dia ayunkan tangannya itu, kemudian dilemparkannya tubuhnya ke depan. Dia letakkan lagi, dia ayunkan, dia lemparkan lagi tubuhnya ke depan. Dia lemparkan lagi. Lemparkan terus. Dia berlari terus, tak peduli bahwa pelari lain sudah tak lagi ada di lintasan.
Hingga suatu saat, seratus meter di depannya telah terpampang garis finish. Namun, Bob jatuh terguling. Bob telah kehilangan kekuatannya. Perlahan-lahan, Bob bangkit dan membuka sarung tangannya. Ia melihat tangannya yang ternyata telah berdarah-darah.
Dokter yang mendampingi Bob sejenak memeriksanya, dan mengatakan bahwa kondisi Bob sudah parah, bukan saja karena luka di tangannya, namun lebih ke arah kondisi jantung dan pernafasannya.
Sejenak Bob memejamkan mata. Dan di tengah-tengah gemuruh suara penonton yang mendukungnya, samar-samar Bob dapat mendengar suara ayahnya yang berteriak “Ayo Bob, bangkit! Bangkit!Selesaikan apa yang telah kamu mulai. Buka matamu, dan tegakkan badanmu. Lihatlah ke depan, garis finish telah di depan mata. Cepat bangun ! Jangan menyerah! Cepat bangkit !!! Bangkit Bob! Bangkit!”
Perlahan Bob mulai membuka matanya kembali. Garis finish serasa telah berada di depan matanya. Semangat membara lagi di dalam dirinya, dan tanpa sarung tangan, Bob melompat- lompat ke depan, mengayunkan tangannya dan melemparkannya ke depan. Dan satu lompatan terakhir dari Bob membuat tubuhnya melampaui garis finish. Saat itu meledaklah gemuruh dari para penonton yang berada di tempat itu. Bob bukan saja telah menyelesaikan perlombaan itu, ia bahkan telah tercatat di Guiness Book of Record sebagai satu-satunya orang cacat yang berhasil menyelesaikan lari maraton.”
Kemudian, di hadapan puluhan wartawan yang menemuinya, Bob berkata : “Saya bukan orang hebat. Anda tahu saya tdak punya kaki lagi. Saya hanya menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Saya hanya mencapai apa yang telah saya inginkan. Kebahagiaan saya dapatkan adalah dari proses untuk mendapatkannya. Selama lomba, fisik saya menurun drastis. Tangan saya sudah hancur berdarah-darah. Tapi rasa sakit di hati saya terjadi bukan karena luka itu, tapi ketika saya memalingkan wajah saya dari garis finish. Jadi saya kembali fokus untuk menatap goal saya. Saya rasa tidak ada orang yang akan gagal dalam lari marathon ini. Tidak masalah anda akan mencapainya dalam berapa lama, asal anda terus berlari. Anda disebut gagal bila anda berhenti. Jadi, janganlah berhenti sebelum tujuan anda telah tercapai.”
Selengkapnya...
Sabtu, 27 Maret 2010
Kisah Si Bob
Puisi Untuk Adik
Adikku,
hidup itu ibarat sebuah kanvas
Putih, bersih tanpa setitik pun tinta dia atasnya
Adikku,
Hidup itu ibarat sebuah kanvas
Yang siap untuk kau lukis dengan tinta terbaikmu
Adikku,
Lebarkanlah kanvas hidupmu
Selebar cakrawala dunia
Bentangkanlah kanvasmu
Seluas mata memandang nirwana
Adikku,
Warnailah kanvasmu
Warnailah dengan warna-warni kasih sayang
Goreskan kuasmu dengan penuh rasa cinta
Adikku,
Lukislah kanvasmu
Lukislah dengan indahnya akhlaqul karimah
Goreskanlah lukisanmu dengan tinta terbaik
Tinta ajaran Allah dan Rasul-Nya
Adikku,
Berikanlah waktu sejenak
Pada keluargamu, saudaramu, temanmu,
Tuk memberi warna pada kanvasmu
Warna indahnya persaudaraan dan silaturahim
Adikku,
Bingkailah lukisanmu
Bingkailah dengan keimanan yang kokoh
Sekokoh tiang-tiang penyangga Arsy
Adikku,
Hidup itu ibarat sebuah kanvas
Rawatlah kanvasmu
Rawatlah dengan sentuhan istiqamah jiwamu
Adikku,
Jadikanlah kanvasmu
Sebagai persembahan terbaik
Tuk berjumpa dengan Rabbmu
Selengkapnya...
“Jalan Yang Lurus”
Menarik sekali untuk kita simak apa yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab ketika menjelaskan tentang Al Quran surat Al Maidah ayat 16:
Artinya : “dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
Di dalam Al Quran Allah Azza wa Jalla menyampaikan kepada manusia tentang shirathal mustaqim. Menarik untuk diketahui bahwa dalam bahasa Al Quran ‘shirat’ berarti ‘jalan yang lurus’, katakanlah semacam jalan tol. Kata ini termbil dari kata yang berarti ‘menelan’. Seakan-akan karena luasnya, ia menelan pejalan yang lalu lalang disana. Seseorang yang melalui jalan tol, jika ia tidak tersesat, maka ia akan sampai ke tujuan dengan cepat karena jalan tersebut bebas hambatan.
Al Quran juga menggunakan kata ‘sabil’ yang berarti jalan. Namun, jika diamati, kata ini – tidak sama dengan shirat – digunakan dalam Al Quran dalam bentuk tunggal atau jamakserta dirangkaikan dengan sesuatu yang menunjukkan kepada Tuhan, seperti kata ‘sabililah’ dan ‘subula rabbina’ atau dirangkaikan dengan hamba-hamba Tuhan yang taat atau yang durhaka (sabil al muttaqin dan sabil al mujrimin).
Al Quran memberikan petunjuk bahwa jalan yang baik dihimpun oleh suatu ciri, yaitu “kedamaian, ketentraman dan ketenangan”. Semua jalan yang bercirikan hal tersebut pasti bermuara ke jalan yang luas lagi lurus yang dinamai dengan “shiratal mustaqim”. Sebagaimana firman Allah di atas.
Apa makna itu semua? Maknanya adalah pesan Al Quran untuk tidak bersikap picik, karena banyak jalan menuju shiratal mustaqim. Semua jalan yang bercirikan keselamatan dan kedamaian akan bermuara kesana. Pesan Al Quran : Jangan mempersempit shirat, ia dapat menampung semua pejalan; semua aliran, semua pendapat, dan mazhab selama bercirikan ‘as salam’. Jalam menuju surga adalah lebar, siapa pun dapat menelusurinya tanpa terganggu atau mengganggu pejalan yang lain.
Tapi benarkah jalan itu luas dan lebar? Bukankah banyak larangan agama yang menghambat lajunya lalu lintas kehidupan sehingga jalan terasa sempit? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah kita menjawab secara jujur pertanyaan berikut: Benarkah lampu lalu lintas menghambat perjalanan seseorang? Benarkah berhenti sejenak mematuhi isyarat lampu merah memperlambat seseorang menuju ke tujuan? Bukankah ketiadaan lampu justru mempersempit dan memperlambat arus?
Agama menuntut kita untuk mematuhi rambu-rambu jalan serta isyarat-isyaratnya, baik yang terdapat dalam perjalanan dari dan ke rumah maupun dalam perjalanan hidup ke rumah yang kekal di sisi Tuhan. Jalan yang disiapkan adalah jalan yang luas lagi lurus.
Diambil dari: Kisah Dan Hikmah Kehidupan, Lentera Hati, M. Quraish Shihab.
Selengkapnya...
Syukuri Apa Yang Ada
Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih kita kepada Allah SWT sebagai Sang Maha Pemberi nikmat. Adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk mensyukuri segala yang telah diberikan-Nya. Sebesar atau sekecil apapun yang kita terima, haruslah selalu ditanggapi dengan rasa syukur. Karena rasa syukur akan menuntun kita pada hidup yang penuh dengan kelimpahan. Syukur akan selalu membawa kita pada sikap positif dalam menjalani hidup. Hidup ini akan terasa ringan, karena syukur yang kita ungkapkan akan menghilangkan beban yang tersangkut di pundak kita.
Dengan atau tanpa kita sadari, telah begitu banyak nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita. Sudahkah kita bersyukur atas udara yang kita hirup, air yang kita minum, cahaya yang kita lihat, tanah yang kita pijak???? Betapa banyak nikmat Allah SWT yang hadir dalam hidup kita, namun betapa banyak pula yang kita lalai mensyukurinya. Bersyukurlah,... Sesungguhnya nikmat Allah SWT tak pernah berhenti mengalir, pun di saat kita mengingkarinya.
Semakin banyak rasa syukur kita, maka akan semakin penuhlah hidup kita dengan kelimpahan. Karena semakin banyak kita bersyukur, maka akan semakin banyak kita menerima. Sungguh, kelimpahan itu bukanlah terletak pada seberapa banyak yang kita miliki, tapi ia terletak pada kelapangan hati dalam menerima apa yang hadir dalam hidup kita.
Syukur adalah bentuk penerimaan yang tulus dari hati kita. Dengan syukurlah kita terbebas dari belenggu sikap negatif. Syukur akan menjauhkan kita dari rasa iri, dengki, riya, takabbur, rendah diri dan sikap-sikap negatif lainnya.
Teman,... yok, kita isi hidup kita dengan kesyukuran. Jauhkan diri kita dari sikap ingkar dari nikmat Allah SWT. Semakin kita mengingkari, maka semakin beratlah beban yang kita pikul, semakin jauhlah kita dari rasa cukup. Akan selalu ada yang kurang dari apa yang kita punya. Tanpa rasa syukur, hidup kita akan diisi dengan mengeluh dan mengeluh, walaupun sebenarnya apa yang kita miliki sudah lebih dari cukup.
Semoga kita termasuk ke dalam sedikit dari hamba-hamba Allah SWT yang selalu bersyukur kepada-Nya. Amiin ya Rabb.
Selengkapnya...
Sebuah Kisah : ‘Penyembelihan Seorang Anak oleh Ayahnya’
“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.
Maka Kami beri Dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).
Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim.
Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian,
(yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".
Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ia Termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.
(QS. 37 : 100 – 111)
Sungguh, keikhlasan yang tiada taranya dari seorang ayah dan anaknya telah tergambar dengan begitu indahnya pada kisah yang diabadikan Allah SWT di dalam ayat-ayat-NYA supaya menjadi pelajaran bagi kita yang mentadabburinya.
Diawali dengan sebuah doa sederhana - namun merupakan sebuah harapan terbesar - dari seorang yang dikenal sebagai Bapaknya para Nabi, Ibrahim as, kepada Sang Maha Pemberi Karunia agar diberikan anugrah seorang anak yang shalih.
Harapan ini telah menggambarkan kepada diri kita bahwa kesuksesan terbesar seorang anak dalam pandangan seorang ayah yang shalih bukanlah kesuksesan duniawi dan materi semata, namun yang lebih berharga daripada itu semua adalah keshalihan yang mengalir dalam derap langkah anaknya. Keshalihan yang mampu membawanya menuju pengabdian tertinggi kepada Penciptanya.
Hingga pada suatu waktu, ketika Allah Azza wa Jalla memintanya melakukan sebuah tugas yang maha berat, maka tanpa keraguan sedikit pun ia akan melaksanakannya. Sebagaimana yang digambarkan dalam drama pengorbanan Nabi Ibrahim as., atas anaknya Ismail as.
Ibrahim as. merupakan suri teladan yang tiada bandingannya dalam keikhlasan, ketulusan dan kesabarannya dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT. Ia mampu – tanpa keraguan sedikit pun – mengorbankan anak yang sangat diharapkan kehadirannya selama bertahun-tahun, anak yang menjadi tumpuan kasih sayangnya, untuk dikurbankan, disembelih sebagai bukti kecintaan dan ketaatannya kepada Allah SWT.
Sungguh, Allah SWT telah memberikan tuntunan kepada kita tentang bagaimana mencintai. Bagaimanapun cinta dan sayangnya kita kepada segala sesuatu, maka cinta dan sayang kita itu tidaklah pantas jika melebihi cinta kita kepada Allah SWT. Dan, cinta suci memang selalu disertai dengan pengorbanan.
Begitu pun dengan Nabi Ismail as. Betapa mulia dirinya. Ia adalah seorang anak yang sedang beranjak menuju kedewasaan usia, namun telah memiliki sebuah kebulatan tekad untuk menjadi seorang hamba yang penuh dengan kesabaran. Tak ada terbersit kebimbangan dalam dirinya ketika mengatakan kepada ayahnya : "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".
Subhanallah,... inilah gambaran sebuah kesabaran dan bentuk penyerahan diri secara totalitas kepada Allah SWT. Penyerahan diri yang dilakukan dengan penuh ketulusan, dilandasi oleh kesabaran, kecintaan dan ketaatan kepada Allah SWT, Sang Maha Pemberi Hidup.
Basah mata ini saat menghayati kisah yang – Subhanallah,... – sangat menggugah sudut-sudut hati yang lama tak tersentuh oleh arti sebuah ketulusan dalam pengorbanan. Kurenungi diri ini, mampukah setabah Ismail as., sesabar Ibrahim as., setulus penyerahan diri mereka kepada kehendak Allah SWT, Yang Mahakuasa. Mampukah diri ini masuk ke dalam golongan hamba-hamba Allah yang bergelar muhsinin. Hamba Allah yang mampu lulus saat menjalani ujian-ujian-NYA.
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ.......
Artinya : "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)". (QS. 7 : 126)
Selengkapnya...
Rasa Sebuah Ketulusan
Seorang teman karib menghampiri meja kerja Anda, dan mengambil sebatang pensil yang telah patah. Pintanya “Boleh aku pinjam ini?”.Anda yang sedang sibuk hanya menoleh sekelebat dan berkata, “Ambil saja”. Setelah itu, Anda lupa akan kejadian itu selamanya.padahal, bagi teman Anda, pensil patah itu amat berharga demi pengerjaan tugasnya.
Tahukah Anda bagaimana “rasa” sebuah ketulusan? Setiap dari kita pasti pernah memberikan sesuatu dengan setulus murni. Namun, tidak banyak yang mampu memahaminya. Karena ketulusan bukanlah rasa, apalgi untuk dirasa-rasakan. Ketulusan adalah rasa yang tidak terasa,sebagaimana Anda mempersilahkan teman Anda mengambil pensil patah Anda. Tiada setitik pun keberatan. Tiada setitik pun permintaan terima kasih. Tiada setitik pun rasa berjasa. Semua lenyap dalam ketulusan.
Sayangnya tidak mudah bagi kita memandang dunia ini seperti pensil patah itu. Sehingga ada rasa keberatan atau rasa berjasa saat kita saling berbagi. Sayangnya tidak mudah juga untuk bersbuk-sibuk pada keadaan diri sendiri, sehingga pensil patah pun tampak bagai pena emas. Jangan ingat-ingat perbuatan baik Anda. Kebaikan yang Anda letakkan dalam ingatan bagai debu yang tertiup angin.
Disadur dari : buku MOTIVASI Ir. Andi Muzaki, SH. MT.
Selengkapnya...
Menjaga Lisan
Batapa gampangnya lidah ini mengucapkan kata-kata. Kata-kata yang penuh makna, penuh hikmah, nasehat, canda, cerita, atau sekedar basa-basi belaka. Bahkan tak sedikit lidah yang begitu lancar mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati, menceritakan aib sendiri maupun orang lain, bergunjing, berghibah, mengejek, atau bahkan memaki. Tak salah bila dikatakan bahwa lidah itu ibarat sebuah pisau, yang dapat digunakan sebagai peralatan kerja, atau dapat juga dipakai sebagai senjata untuk menakuti orang lain, bahkan membunuh.
Dari begitu banyak kata-kata yang kita ucapkan, sangat sedikit bagian yang dapat kita ingat. Bahkan banyak orang yang tidak dapat mengulang kata-katanya sendiri yang baru saja diiucapkannya beberapa detik yang lalu. Sangat banyak dari kita yang tidak ingat lagi apa yang kita ucapkan pada teman kita saat berjumpa di jalan, atau pada saudara kita di rumah, dan tak jarang kita lupa apa yang telah kita sampaikan pada orang tua kita. Maka, sangat baik bagi kita untuk selalu menjaga agar kata-kata yang keluar dari lisan kita adalah kata-kata yang baik.
Kadang, kita tak tau canda yang kita lakukan, yang membuat kita tertawa, ternyata terasa menyakitkan bagi orang lain. Atau, cerita yang kita sampaikan dengan menggebu-gebu, ternyata tanpa terasa telah menyinggung perasaan orang lain. Apatah lagi, pabila perkataan yang menyakitkan dan menyinggung perasaan itu memang kita lakukan dengan sengaja. Na’udzu billahi min dzalik.
Sampai-sampai, begitu besarnya pengaruh lisan kita, hingga ada pepatah yang mengatakan “mulutmu harimau kamu” atau “lidah itu lebih tajam daripada sebilah pedang”. Jika kita tak pandai menjaga lisan, maka lisan kitalah yang akan membawa kita pada keburukan.
Betapa pentingnya bagi kita untuk selalu menjaga lisan diungkapkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Karenanya, ungkapan yang mengatakan diam itu emas adalah selaras dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. di atas. Yaitu, diam yang dilakukan karena menjaga lisan agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak baik. Namun, mengucapkan kata-kata yang baik jauh lebih berharga daripada diam, walaupun diam itu emas.
Selengkapnya...
Menjaga Kebersihan
Pagi ini, seperti biasa kusapu lantai rumah kos yang kutinggali. Rasanya ada perasaan yang sangat tidak sreg di hati jika kubiarkan debu-debu dan sampah-sampah kecil berserakan di lantai. Kaki ini akan terasa risih jika menginjaknya. Pun, kelihatan tak mengenakkan di pandangan mata. Apalagi kata Rasul kebersihan itu sebagian dari iman.
Maklumlah,.... yang tinggal juga tidak bisa setiap saat menjaga kebersihan rumah mungil yang hanya ditinggali bertiga ini. Kotoran yang melekat pada kaki atau sandal dan sepatu tak bisa dihindarkan, pasti ikut masuk ke dalam rumah ketika alas-alas kaki - yang menemani kami beraktifitas di luar rumah - itu dimasukkan ke dalam. Begitu juga dengan sepeda motor yang selalu parkir di dalam rumah ketika malam sudah datang. Tak pelak lagi, pastilah tanah-tanah yang menempel di bannya juga tak ragu-ragu untuk segera menempatkan diri di lantai, apalagi saat ini sedang sering-seringnya turun hujan.
Kebetulan, tepat di depan rumah kos kecil kami itu adalah gang kecil tempat lalu lalang banyak orang, ada yang jalan kaki, bersepeda motor dan ada pula yang memakai mobil. Karenanya, pastilah debu-debu yang beterbangan dari jalan itu tak pelak selalu singgah di rumah kecil yang sering terbuka ini. Jangankan sering dibuka, bahkan ketika tertutup rapat pun, entah dari mana ‘mereka’ (debu-debu itu) tetap bisa masuk ke dalam rumah. Ah,... memang debu-debu itu tak pernah memilih-milih tempat yang harus didatanginya.
Begitulah rumah kos mungil yang kami tempati, selalu ada saja kotoran yang tak diundang masuk ke dalamnya. Itu masih yang di lantai, yang selalu dibersihkan setiap hari. Lain lagi debu-debu yang menempel di dinding, di sudut-sudut rumah yang jarang terjangkau sapu, atau di bawah lemari. Tak setiap saat kami rajin membersihkannya.
Entah mengapa, terbersit dalam pikiranku, rumah yang kami tempati ini juga sama halnya dengan diri kita. ‘Debu-debu’ (kesalahan dan dosa) selalu dengan rajin mengotori diri ini. Setiap waktu, selalu ada saja kesalahan dan dosa yang kita lakukan. Dari mata, telinga, lidah, kaki, tangan, bahkan hati yang tak kasat mata juga sering menerbitkan banyak kotoran dalam diri kita. Tak terasa, sedikit demi sedikit diri kita telah dilumuri dengan dosa-dosa yang sering kita lakukan.
Berbeda dengan rumah yang kotorannya nampak dan dapat kita rasakan, kotoran yang menempel dalam diri kita tak dapat dilihat. Hingga ada istilah joke “dosa kan nggak njendol”. Sampai-sampai, karena dosa itu nggak njendol, kita sering lupa membersihkannya. Padahal, manakah yang lebih menyiksa kita, kotoran fisik ataukah ‘kotoran’ tak kasat mata yang ada dalam diri kita????
Apa i’tibarnya? Ialah kita harus selalu memperhatikan diri kita, hati kita. Jangan sampai kita selalu membiarkan dosa-dosa kecil, apalagi besar, menempel lekat di dalam diri kita. Karena, jika kita tak selalu membersihkannya, kita akan menjadi terbiasa dengan kotornya diri kita. Kalau sudah menjadi sebuah kebiasaan yang kemudian berkembang menjadi karakter, akan sulitlah kita merubahnya. Sama halnya dengan kotoran yang menempel lama di salah satu sudut rumah yang jarang kita bersihkan. Butuh kerja ekstra untuk membersihkannya seperti semula. Bahkan, tak sedikit yang walau pun sudah dibersihkan, masih saja meninggalkan bekas-bekas yang tak bisa dihilangkan.
“Tidak menjadi dosa besar sebuah dosa bila disertai dengan istighfar dan bukan dosa kecil lagi suatu perbuatan bila dilakukan terus menerus.” (HR. Ath-Thabrani)
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
Artinya : “dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. 11 : 114)
Hanya dengan melakukan perbutan-perbuatan baiklah kita bisa ‘menyapu’ dosa-dosa yang setiap hari mengotori diri kita. Semakin sering berbuat baik, maka semakin bersihlah hati dan diri kita. Seperti rumah yang selalu dibersihkan setiap ada kotoran atau debu yang menempel. Hal ini semakna dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: kepada Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, ikutilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan baik, maka perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk tersebut, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik” (Hadits hasan riwayat Imam Ahmad 5/153, dan At Tirmidzi no. hadits 1987).
Sama halnya dengan rumah, jika kita sering membersihkannya, maka kita kan nyaman berada di dalamnya, sekali pun rumah itu tak seindah istana. Diri kita juga, apabila selalu kita bersihkan dari dosa-dosa, maka hidup kita akan tentram dan bahagia karenanya. Tak ada ‘pembersih’ yang lebih baik kecuali ber-istighfar dan berbuat baik setiap saat.
Selengkapnya...
Logam Kecilku
Aku punya satu kebiasaan mengumpulkan uang recehan mulai dari pecahan Rp. 50,- sampai Rp. 1000,- yang berbentuk logam. Recehan itu kudapatkan dari kembalian-kembalian parkir, belanja kebutuhan, kembalian naik angkot dan sebagainya. Ntah kenapa – aku pun nggak tau – rasa senang selalu muncul begitu saja ketika melihat kumpulan uang logam yang kutaruh di dalam sebuah kotak kecil. Tiap kali kulihat uang di dalam kotak itu berserakan, aku selalu luangkan waktu sedikit untuk merapikannya. Ntah kenapa, walaupun jumlahnya sedikit, aku merasa uang recehan itu begitu berharga.
Sudah beberapa minggu ini, aku tidak memperhatikan 'logam-logam berharga' itu. Ketika ada uang recehan kudapatkan, langsung kumasukkan saja, tanpa memperhatikan kondisi uang di dalam kotak kecil itu. Jarang sekali aku mau mengambil logam-logam kecil yang sudah kukumpulkan beberapa tahun ini. Sayang sekali rasanya.
Hingga, kemarin, aku ingin pergi ke suatu tempat. Uang yang ada di dompetku terlalu besar jika hanya untuk membayar parkir di tempat itu. Sedangkan uang ribuan, aku tidak punya waktu itu. Yah, mau tak mau, akupun terpaksa mengambil uang dari dalam kotak kecil wasiat itu.
Tapi,.........
Betapa kesalnya aku ketika itu,....... (sampai saat menulis ini pun kesalku belum juga bisa kuredakan, ampuni aku ya Allah,......)
Waktu aku mau mengambil uang pecahan Rp. 500,-an, aku tak mendapatkannya lagi disana. Semua logam pecahan Rp. 500,-an dan ribuan yang tersusun rapi di kotak kecil itu telah raib entah kemana. Tak meninggalkan jejak sedikit pun. Yang tersisa hanya logam pecahan ‘limpul’, seratus dan dua ratusan saja ditambah sebiji uang logam 500an yang terselip di antara recehan kecil yang tertinggal. Ah, betapa kesalnya aku,......
Aku jadi lupa kalau waktu itu saya mau pergi. Kuambil kotak kecil saya itu. Lama,...... kuperhatikan,........ kulihat berulang-ulang,........... kupastikan lagi........... Ternyata memang benar telah hilang. Seakan tak percaya aku waktu itu, logam-logam kecil kesayanganku – yang telah kukumpulkan bertahun-tahun – telah HILANG. Kesal sekali aku,...... Begitu kesalnya aku, kukeluarkan uang-uang kecil itu dari dalam kotaknya, kuserakkan di lantai, kemudian ku masukkan lagi dengan kondisi yang berantakan. Baru di hari berikutnya, dengan menyabar-nyabarkan diri, kususun kembali recehan-recehan kecil yang tertinggal itu. Ah,... sedihnya,......
Kehilangan uang dengan jumlah yang sama atau lebih besar nominalnya daripada logam-logam kecilku yang hilang itu takkan membuat aku sekesal ini. Memang, nominalnya tak seberapa, tapi walaupun orang yang mengambilnya mau mengembalikan lagi uangku itu dengan nominal yang sama atau lebih besar sekalipun, nilai logam-logam kecil itu takkan tergantikan. Kesalnya hatiku takkan terobati dengan nominal uang. Maafkan aku,...... memang saya masih kesal,.....
Peristiwa ini membuatku semakin sadar betapa segala rasa yang ada di hati ini tak dapat dibandingkan dengan materi. Perasaan senang, bahagia, cinta, rindu, kasih, sayang, semua itu tak ternilai harganya. Tak tergantikan oleh apa pun. Bahkan rasa benci, kesal, sedih, marah, pun ternyata tak terobati dengan materi. Betapa ruginya kalau kita tak menghargai atau mengabaikan perasaan-perasaan hati.
Menjaga benda kecil yang dapat membuat hati ini merasa bahagia, jauh lebih penting daripada menjaga segudang harta.
Terkadang, sesuatu yang kecil terasa begitu berarti saat kita telah kehilangan.
Selengkapnya...
KEJUJURAN; KESELARASAN ANTARA HATI, LIDAH DAN PERBUATAN
“Orang yang menangis tak dapat menceritakan gelak orang yang tertawa, orang yang bergirang tak dapat melukiskan tangis orang yang bersedih.”
(HAMKA, dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, 1938)
Kejujuran, itulah yang pertama kali tergambar dalam benak saya ketika membaca petikan yang di ambil dari novel yang berkisah tentang kasih yang tak sampai dari seorang pemuda dan seorang gadis yang terhalang oleh adat istiadat kesukuan yang dijunjung tinggi di kalangan masyarakat Minangkabau. Tapi, tak lah kita bahas isi dari novel itu. Takkan habis membahas sebuah karya indah itu hanya dalam satu tulisan singkat.
Teringatlah satu firman Allah dalam Al Quran yang menyatakan :
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaf : 3)
Dalam suatu riwayat, dikisahkan tentang seorang Khalifah yang ditemui oleh seorang budak. Budak tersebut memohon kepada sang Khalifah agar menghimbau kepada para pemilik budak agar memerdekakan budak-budak mereka. Tanpa banyak memberikan komentar, Khalifah tersebut menyanggupi permintaan budak tersebut. Namun, beliau meminta agar diberikan waktu untuk melakukannya. Mendengar itu, budak itu pun merasa sangat girang dan bersyukur sekali.
Maka, setiap hari ia selalu menanti-nantikan himbauan yang telah dijanjikan oleh Khalifah tersebut. Pada Jumat pertama setelah Khalifah itu berjanji, ia tidak mendengar sedikit pun himbauan agar para budak dimerdekakan, menyinggung saja pun tidak ada di dengarnya dalam khutbah yang disampaikan Khalifah itu. Begitu juga yang terjadi pada Jumat berikutnya. Hingga budak itu pun tampak lesu dan mulai hilanglah harapannya untuk memperoleh kemerdekaan.
Akhirnya, pada Jumat yang ketiga, sang Khalifah menyampaikan tentang kemuliaan memerdekakan budak dan menghimbau agar para pemilik budak memberikan kemerdekaan kepada budak mereka. Hal itu disampaikannya dalam khutbahnya yang berapi-api dan sangat menyentuh rakyatnya.
Timbullah keheranan di dalam hati budak yang menyampaikan permintaan tadi, mengapa harus di Jumat yang ketiga itu, barulah khalifah menyampaikan himbauan agar memerdekakan para budak. Padahal, himbauan itu tidaklah terlalu sulit dilakukan oleh seorang Khalifah. Tanpa menunggu waktu lama, setelah selesai melaksanakan shalat Jumat hari itu, ia pun langsung menemui sang Khalifah dan menanyakan apa yang terbersit di dalam hatinya. Khalifah itu pun lalu bercerita bahwa ia juga pada beberapa waktu yang lalu memiliki beberapa orang budak. Sehingga ia membutuhkan waktu untuk memerdekakan budak yang ia miliki, selain itu, ia juga membeki budak dari orang lain dan kemudian memerdekakannya. Itulah sebabnya, maka ia baru dapat menyampaikan himbauan untuk memerdekakan budak setelah tiga kali Jumat setelah permintaan budak itu disampaikan kepadanya. Ia tidak ingin menyampaikan apa yang ia tidak lakukan. Lagi pula, ia akan dapat menyampaikan hikmah memerdekakan budak setelah ia pun merasakannya. Dengan demikian, apa yang ia ucapkan selaras dengan apa yang ia lakukan. Bagaimana himbauannya dapat didengar oleh orang lain, sedangkan ia tidak melakukan apa yang menjadi himbauannya itu. Ia tidak ingin menjadi orang munafiq yang lain di hati, lain di bibir, lain pula di perbuatan.
Hati-hatilah ketika lidah ini tidak lagi kelu ketika mengucapkan kebohongan. Hati-hatilah ketika lidah ini mulai lancar menyampaikan kedustaan. Hati-hatilah ketika hati ini dengan mudahnya mengarang suatu kejadian. Hati-hatilah ketika hatimu tidak lagi terdetak ketika mengucapkan apa yang tidak Engkau lakukan. Hati-hatilah,.... karena murka Allah amatlah besar kepadamu yang tak selaras antara hati, lidah dan perbuatan.
Tidaklah tulisan ini mengatakan bahwa yang menuliskannya telah terbebas dari kemunafikan. Namun, tulisan ini hanyalah mengingatkan dirinya akan pedihnya azab Allah bagi para pendusta. Mudah-mudahan takutnya pada Allah jauh lebih besar daripada niatnya untuk melakukan kedustaan.
Selengkapnya...
JERUK TANPA KULIT
Pernah makan buah jeruk? (hehe,... pertanyaan yang aneh, masak ada orang yang gak pernah makan jeruk,...). Kalau Anda makan jeruk, apakah Anda memakannya sekalian dengan kulit-kulitnya? (lebih aneh lagi nih pertanyaan, masak ada orang makan jeruk sekalian kulit-kulitnya,...). Tentunya, ketika Anda ingin menikmati kesegaran buah jeruk, ketika hendak memakannya Anda harus mengupas dan membuang kulitnya terlebih dahulu. Kenapa? Karena kulit jeruk itu rasanya pahit, sepet, dan pasti tidak enak. Nah, setelah kulitnya Anda kupas, dan Anda memakannya, maka akan dapatlah Anda rasakan manis dan segarnya buah itu. (glekh,.... jadi pengen,.....)
Nah, begitu jugalah hendaknya sikap kita dalam kehidupan ini. Dalam menjalani hidup ini, tentunya kita sering bertemu dengan peristiwa, orang, atau hal-hal lain yang persis sama dengan keadaan buah jeruk.
Dalam suatu peristiwa misalnya, sering kita bertemu dengan hal-hal pahit, menyedihkan, menjengkelkan, dan berbagai hal negatif yang tidak mengenakkan lainnya. So,... Apa yang perlu kita lakukan apabila kita menjumpai peristiwa seperti itu? Maka, bayangkanlah bahwa peristiwa yang tidak mengenakkan itu sebagai kulit jeruk. Memang kulit jeruk itu rasanya sepet, pahit, begitu juga dengan peristiwa itu. Karenanya, mari kita buang jauh-jauh perasaan-perasaan dan emosi negatif yang kita dapatkan dari peristiwa itu, seperti kita membuang kulit jeruk. Dan anggaplah bahwa itu semua adalah hal yang tidak berharga untuk disimpan. Ambil dan nikmatilah hikmah dan sisi positif dari berbagai peristiwa yang telah kita jalani selama ini. Kita akan dapat merasakan segarnya hidup ini pabila kita selalu membuang sisi negatif dan mengambil bagian-bagian positifnya.
Sama halnya ketika kita memandang orang lain. Akan sangat berharga apabila kita membuang jauh-jauh sisi negatif yang kita lihat dari mereka. Selalu melihat keburukan orang lain akan menjadikan hidup kita terasa pahit, tidak membahagiakan. Sedangkan jika kita melihat kebaikan orang lain, maka kita akan lebih dapat menikmati hidup kita ini. Hidup akan terasa jauh lebih membahagiakan. Sama seperti saat kita memakan buah jeruk tanpa kulitnya, pastilah menyegarkan.
Selengkapnya...
SENYUM, KEBAIKAN KECIL YANG MEMBAHAGIAKAN
Betapa besarnya penghargaan Islam terhadap kebaikan yang kita lakukan dalam hidup ini. Bahkan, senyum pun dianggap sebagai sedekah. Senyum yang dilakukan dengan hanya melebarkan sisi bibir kita sudah dianggap sebagai sebuah kebaikan yang bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Alangkah bahagianya orang yang selalu tersenyum dalam kesehariannya. Wajahnya akan membuat orang yang melihat merasa nyaman, damai, dan akan menimbulkan kesejukan bagi hati yang sedang gersang. Sadar atau tidak sadar, senyum yang kita bagi kepada saudara-saudara kita akan menularkan – walaupun hanya sedikit – rasa bahagia kepada mereka. Pernahkah kau merasakannya???
Senyum bukan hal yang perlu dipaksakan. Ia datang sebagai respon dari kelapangan hati. Bahkan senyum yang dipaksakan akan nampak terlihat “aneh”, bahkan “tak mengenakkan” dipandang mata. Dalam satu kesempatan, saya membaca sebuah buku – yang entah apa judulnya, maklumlah, yang nulis ini sering lupa – di dalamnya dipaparkan berbagai macam bentuk senyuman, mulai dari senyum yang tulus, senyum menggoda, menawan, senyum terpaksa, senyum mengejek, menyepelekan dan macam-macam bentuk senyum lainnya, sampai belasan jumlahnya. Tapi, setelah saya pikir-pikir, mempelajari berbagai bentuk senyuman itu tak membawa manfaat besar. Entahlah kalau orang lain berpendapat berbeda. Menurut saya, senyum itu bukan untuk dipelajari bagaimana melakukannya, bagaimana bentuknya, tapi ia hanya perlu dilakukan. Titik. Tersenyumlah,.....
Senyum akan selalu membawa emosi positif bagi kita. Dengan tersenyum, emosi kita akan selalu berada pada zona positif, sehingga perasaan kita akan berada pada kondisi yang selalu penuh dengan keikhlasan. Berada dalam zona ikhlas (meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Erbe Sentanu dalam buku Quantum Ikhlasnya). Emosi positif, perasaan positif, akan membawa kita pada hidup yang penuh dengan kebahagiaan. Ayo,.... tersenyumlah agar selalu bahagia,......
Senyum bagaikan penyembuh yang dapat menular. (hehe,.... biasanya penyakit yang menular, ini koq malah penyembuh yang menular). Kalau gak percaya, cobalah tersenyum pada temanmu, kakakmu, adikmu, saudaramu, atau siapa saja, bahkan kepada orang yang tidak kau kenal sekalipun, lihatlah apa yang terjadi. Dapat dipastikan, senyummu akan segera menular pada mereka.
Tersenyumlah. Ia dapat menghilangkan sakit pada hati, ia dapat meneguhkan silaturahim, ia dapat mencairkan suasana yang beku, ia dapat memberikan semangat, ia dapat menjadikan wajah kita berseri-seri, ia dapat membuat hidup jauh lebih berwarna,..... Banyak hal yang bisa kita dapatkan dengan senyuman. Jadi, tersenyumlah teman,..... Rasakan apa yang engkau dapatkan dengan senyummu.
Senyumlah dengan menyertakan hati. Kata Aa Gym, hati hanya bisa disentuh dengan hati. So, tersenyum pun harus dengan hati. Jadi, gimana caranya tersenyum dengan hati??? Gimana melihat orang yang tersenyum itu dengan hati atau tidak??? Nah, inilah bagian yang susah untuk dijelaskan dengan rangkaian kata. Benar memang kata pepatah, dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa yang tau. Tapi, yang pasti, jika kita memberikan senyuman dengan tulus ikhlas, maka ketulusan dan keikhlasan kita akan dirasakan oleh orang lain. Begitu juga sebaliknya. Karena hati hanya bisa disentuh dengan hati. So,.... Tersenyumlah dengan hati,......
Satu lagi. Buat kamu yang ingin terlihat manis dan tampan atau cantik. Maka tersenyumlah. Bahkan orang yang bertampang seram, penuh codet di wajahnya, layaknya preman pajak horas Siantar, kalau ia tersenyum maka wajahnya akan nampak innocent. Wajah tak berdosa. Apalagi yang wajahnya memang “bening”. Sungguh karunia Allah itu harus dimaksimalkan dengan senyum. So,... dont forget to give your smile to every one, any time any where.
Selengkapnya...